It’s okay not to be okay. Pernah denger kalimat ini sebelumnya? Gue rasa semuanya udah pernah. Tapi udah berapa kali kalian mengatakan ini ke diri kalian sendiri?

Those words like a magical word yang kita butuhin dijaman yang lebih mementingkan image projection. Jaman sekarang kalian akan dengan mudah nemuin postingan kolega atau teman terdekat yang waktu liburannya selalu bisa jalan-jalan ke luar negeri, yang baru aja lahiran anak kedua, yang dapat koneksi buat naik jabatan, atau yang foto perut sixpacknya. Hal-hal ini pada akhirnya bikin kita sangat mudah terjebak dalam ilusi kehidupan yang sempurna.

Lingkungan membuat kita mengklaim bahwa pencitraan diri itu jauh lebih penting dibanding kebahagiaan. Lingkungan mengganggap bahwa menangis itu hanya untuk jiwa yang lemah. Kemudian rutinitas akhirnya mempertemukan kalian dengan setiap orang yang ternyata menaruh harapan besar sama diri kalian. Ketika kalian harus memakai “topeng kebahagiaan” padahal kalian sedang tidak baik-baik saja. Dan parahnya, ketika kalian bekerja di bawah pimpinan yang tidak memiliki kepemimpinan tapi hanya menganggap kalian adalah suatu bagian dari perusahaan yang harus didayagunakan tenaganya.

Harapan besar orang-orang disekitar kalian, mungkin awalnya bisa menjadi penyemangat untuk memberikan yang terbaik yang kalian punya. Tapi sadar ga sih? Semakin banyak orang yang menaruh harapan besar maka semakin takut diri kita buat menghadapi kegagalan dan takut mengecewakan orang itu. Hal ini akhirnya membuat kita mengesampingkan rasa kecewa, rasa sedih, rasa marah, rasa sakit diri sendiri. Sosiologis Archie Hoschchild bahkan bilang, “suppressing negative feelings can cause an “emotional load” that causes you to burn out faster, give up more easily and ultimately be less successful.”

Kita sering lupa bahwa kita lah tour guide yang bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Emosi yang kita rasakan setiap hari, perlu diungkapkan dan kita perlu menerima bahwa kita adalah manusia yang kadang memiliki hari yang baik atau hari yang buruk. Sebuah studi dari Montana State University mengatakan bahwa people who are authentic and honest with themselves can overcome feelings of shame — which would otherwise cause them to devalue themselves.”

Sense of perfection menjadi hal umum yang ada pada setiap orang. Coba untuk berbagi dalam segala bentuk hal, bercerita atau menulis, berkeluh kesah dengan Tuhan, dengan orang terkasih atau bahkan hewan peliharaan. Karena ketika kita berbagi kita membangun kapasitas diri untuk lebih toleransi terhadap rasa sakit dari berbagai pengalaman.

As a human being, sudah sewajarnya kita lebih menyayangi diri ini. Berani berkata lantang “it’s okay not to be okay” karena semua punya momennya masing-masing. Berhenti untuk menjadi pura-pura bahagia, masa bodoh dengan orang yang selalu mengomentari kehidupan kalian. Dan yang paling penting, berhenti membuat image projection. Now, accept your emotions and give yours a very high standing ovation.

I’m not okay. You’re not okay. But , it’s okay – Chris Padgett

Comments

Popular Posts