1 dari 10

 


https://www.istockphoto.com/photo/partial-view-of-female-hands-with-yellow-awareness-ribbon-on-colorful-background-gm1209231871-349841248

Bila mengingat kembali momen ketika aku sendiri di ruang tunggu sebuah klinik kandungan - di antara banyak pasangan lain dan ketika itu sepertinya masih cukup tabu seorang perempuan datang sendiri ke sana - membuat aku berterimakasih kepada diriku untuk berani memulainya.

Hari itu, aku memutuskan ke dokter kandungan untuk mencari tahu apa penyebab sebenarnya keluhan tiap bulan yang membatasi ruang gerak aktivitasku. Saat itu aku sedang merantau di Surabaya untuk menempuh pendidikan lanjut. Keluhan tiap bulan yang aku alami sebenarnya sudah sejak lama, namun baru menjadi perhatianku ketika aku mengalami demam dan cukup kesulitan untuk datang ke tempat kerja.

Aku menjadi satu-satunya perempuan yang datang sendiri kala itu, sehingga menjadi perhatian banyak pasang mata ketika aku mulai masuk dan mendaftar di klinik, terlebih saat petugas registrasi menanyakan status perkawinan yang aku jawab belum menikah. Beberapa jam menunggu sambil aku menyelesaikan persiapan bimbingan tesis untuk esok aku konsulkan dengan pembimbingku. Namaku disebut dan seluruh mata sepertinya mengawal aku sampai akhirnya aku masuk ke dalam ruang periksa.

Sebenarnya kunjungan ini bukan kunjungan pertamaku saat itu. Aku kembali mencari klinik kandungan untuk mencari second opinion. Dr. Greg, dokter pemeriksaku saat itu, ia memiliki perawakan besar dan tinggi, kumis tebalnya ikut melebar ketika menyapa aku pertama kali. Ia memiliki kesan hangat yang menular begitu aku memasuki ruangan. Ia seperti tahu apa yang akan aku sampaikan begitu tahu aku datang seorang diri. 

Dr. Greg, membuka obrolan pertama kami sore itu, menanyakan apa yang sedang aku kerjakan, karena mungkin tumpukan berkas tesis yang aku bawa hasil bimbingan hari itu. Kemudian, ia menceritakan keluarganya, bagaimana dia menempuh pendidikan spesialisnya sampai akhirnya ia menanyakan alasanku datang ke sana. Setelahnya, aku diminta naik ke bed periksa untuk dilakukan USG abdominal. 

Menguatkan hasil pemeriksaan dokter kandungan sebelumnya, aku mengidap endometriosis. Dr. Greg menambahkan bila dilihat dari ukurannya sepertinya sudah masuk stadium 4. Aku membalas santai diagnosis yang disampaikan beliau sambil menanyakan kriteria apa yang membuatku masuk ke stadium 4. Sambil aku menuturkan beberapa hal yang sudah aku ketahui tentang diagnosis ini. Kedua alisnya terangkat seakan kaget melihat responku yang biasa saja dan justru mengajaknya berdiskusi singkat soal ini.

Aku memang sudah melakukan riset beberapa bulan sejak keluhan ini datang tiap bulan, membaca beberapa jurnal, bertanya dengan beragam komunitas endometriosis dari luar negeri - saat itu belum ada komunitas endometriosis di Indonesia yang aku temukan - sampai berdiskusi dengan salah satu pembimbing tesisku. Setelah diskusi singkat kami, ia mempersilahkanku kembali ke kursi dan mulai menunjukkan gambar seperti apa kemungkinan kondisi endometriosis dalam tubuhku. 

Kemudian Dr. Greg menanyakan satu hal kepadaku tentang kemungkinan rencana pernikahan. Saat itu, memang aku dan tunanganku sedang menyusun rencana pernikahan dalam waktu dekat. Dr. Greg menambahkan bahwa komplikasi terberat dari penyakit ini adalah risiko histerektomi. Ini juga yang membuatku khawatir. Kekhawatiran ini bukan tentang diriku saja tapi bagaimana respon tunanganku, orangtuaku, orangtua tunanganku dan keluarga besarnya. Saat itu, aku belum memberi tahu siapapun tentang kondisiku dan beragam pemeriksaan yang aku lakukan.

Sebelum mengakhiri sesi konsultasi, Dr. Greg menambahkan bahwa kondisi ini hampir ditemui di seluruh dunia dengan rasio 1 banding 10. Ia menyarankan untuk segera menikah agar pemeriksaan detail bisa dilakukan seperti USG Transvaginal, karena menurutnya ada hal lain yang ia curigai tak terlihat melalui pemeriksaan luar saja. Sesaat setelahnya aku hendak meninggalkan ruangan, kemudian ia sedikit mengeraskan suaranya sambil berkata setiap masalah pasti ada solusinya, good luck on your thesis! Aku membalasnya dengan ucapan terimakasih sambil meninggalkan ruangan periksa dengan hati yang cukup lega.

Well, dia salah satu dokter yang tahu how to threat human not just as a patient. Kecemasan yang aku alami sejak pemeriksaan pertama sampai akhirnya memutuskan untuk mencari second opinion menjadi salah satu keputusan terbaik.

Dan sejak saat itu aku hidup bersama a lil' monster inside me - the endometriosis. I'M ONE OUT OF TEN!







Comments

Popular Posts